Ajaib Kang

Selasa, 02 September 2014

Keutamaan Membaca Surah Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas

Sebagai pengikut Yang Mulia Rasulullah (s.a.w), membaca Al-Quran harus menjadi praktek keseharian yang tidak boleh ditinggalkan. Rutinitas ini harus menjadi bagian dari kehidupan umat Islam, karena Rasulullah (s.a.w) pun merupakan sosok yang disebut oleh Aisyah (ra) sebagai wujud yang memiliki akhlak Al-Quran.Sehingga di dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman : “Orang-orang yang kepada mereka Kami berikan Al Kitab dan mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barang siapa ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Baqarah [2]:121).

Surat Al-Fatihah
Rasulullah SAW. bersabda: “Ketika Allah Azza wa Jalla hendak menurunkan surat Al-Fatihah, ayat Kursi, Ali-Imran 18, 26-27, surat dan ayat itu bergelantung di Arasy dan tidak ada hijab dengan Allah. Surat dan ayat itu berkata: Ya Rabbi, Kau akan turunkan kami ke alam dosa dan pada orang yang bermaksiat kepada-Mu, sementara kami bergelantung dengan kesucian-Mu. Allah SWT. berfirman: “Tidak ada seorang pun hamba yang membaca kalian setiap sesudah shalat kecuali Aku karuniakan padanya lingkaran kesucian di tempat ia berada, dan Aku memandangnya dengan mata-Ku yang tersembunyi setiap hari tujuh puluh kali pandangan. Jika tidak, Aku tunaikan baginya setiap hari tujuh puluh hajat yang disertai pengampunan. Jika tidak, Aku melindungi dan menolong-nya dari semua musuhnya. Dan tidak ada yang mengha-langinya untuk masuk ke surga kecuali kematian.” (Tafsir Majmaul Bayan 1/426).

Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Fatihah, Allah mengkaruniakan kepadanya pahala sama dengan pahala membaca suluruh ayat yang diturunkan dari langit.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1/4).

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berakata: “Iblis menangis dan menjerit dalam empat hal: ketika ia dilaknat, ketika ia diturunkan ke bumi, ketika Muhammad diangkat men-jadi Rasul, dan ketika surat Al-Fatihah diturunkan.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1/4).

Rasulullah SAW. bersabda bahwa Allah SWT. berfirman: “Aku membagi surat Al-Fatihah antara Aku dan hamba-Ku, separuh untuk-Ku dan separuh lagi untuk hamba-Ku.
  • Bagi hamba-Ku ketika ia bermohon dan membaca: Bismillahir Rahmanir Rahim, Allah Azza wa Jalla menyatakan: “Hamba-Ku telah memulai dengan nama-Ku, maka berhaklah Aku untuk menyempurnakan urusannya dan memberikan keberkahan dari sisi-Ku untuk seluruh.keadaannya.”
  • Ketika hamba-Ku membaca: Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, Allah Jalla jalaluh menyatakan: “Hamba-Ku telah memuji-Ku, mengakui bahwa semua nikmat yang dimilikinya berasal dari sisi-Ku, dan semua bala’ Aku yang menyingkirkan sehingga ia merasakan itu sebagai karunia. Maka, hendaknya kalian saksikan, Aku akan menjamunya dengan kenikmatan akhirat lebih dari kenikmatan dunia yang telah Kuberikan, dan menyingkirkan bala’ akhirat sebagaimana Aku telah menyingkirkan bala’ dunia.”
  • Ketika hamba-Ku membaca: Ar-Ramânir Rahîm, Allah Jalla jalaluh menyatakan: “Hamba-Ku telah bersaksi bahwa Aku Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Kalian saksikan, Aku akan melimpahkan rahmat-Ku padanya dan mencurahkan karunia-Ku padanya.”
  • Ketika hamba-Ku membaca: Maliki yawmiddîn, Allah SWT. menyatakan: Kalian saksikan, sebagaimana ia telah mengakui Aku sebagai Raja pada hari kiamat, Aku akan memberikan kemudahan baginya yaitu amalnya tidak dihisab, dan Aku akan mengampuni semua kesalahannya.”
  • Ketika hamba-Ku membaca: Iyyâka na’budu wa iyyâka nasta’in, Allah Azza wa Jalla menyatakan: “Dia hanya memohon pertolongan kepada-Ku dan hanya bersandar kepada-Ku. Kalian saksikan, Aku akan menolongnya dalam segala urusannya, Aku akan melindungi-Nya dalam segala deritanya, dan Aku akan memegang tangannya saat ia membutuhkan pertolongan.”
  • Ketika hamba-Ku membaca: Ihdinash shirâthal mustaqîm … (sampai akhir surat), Allah Jalla jalaluh menyatakan: Hamba-Ku telah bermohon pada-Ku, Aku pasti mengijabah permohonan hamba-Ku, memberikan apa yang diinginkan, dan menyelamatkannya dari apa yang ditakutkan.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 1/5).

Surat Al-Ikhlas
Rasulullah SAW. bersabda: …”Barangsiapa yang membaca surat Al-Ikhlash tiga kali, ia seperti membaca seluruh Al-Qur’an.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/702).

Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang melewati kuburan dan membaca surat Al-Ikhlash sebelas kali, kemudian ia menghadiahkan pahalanya kepada penghuni kubur, Allah SWT memberikan pahala padanya sejumlah penghuni kubur.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/702).

Imam Ja`far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan tinggalkan membaca surat Al-Ikhlash sesudah shalat fardhu, karena orang yang membacanya Allah akan menggabungkan baginya kebaikan dunia dan akhirat, mengampuni dosanya, dosa kedua orang tuanya dan dosa anaknya”. (Mafatihul Jinan 478).

Imam Musa Al-Kazhim (sa)1) berkata: “Sangatlah banyak keutamaan bagi anak kecil jika dibacakan padanya surat Al-Falaq (3 kali), surat An-Nas (3 kali), dan surat Al-Ikhlash (100 kali), jika tidak mampu (50 kali). Jika dengan bacaan itu ia ingin mendapat penjagaan, ia akan terjaga sampai hari wafatnya.” (Mafatihul Jinan 479).

Surat Al-Alaq
Rasulullah SAW. bersabda: “Barangsiapa yang ingin memperoleh penjagaan Allah dari orang yang bermaksud buruk, hendaknya ketika melihat orang itu memohon perlindungan dengan kekuatan Allah Azza wa Jalla dari kekuatan makhluk-Nya, kemudian membaca surat Al-Falaq dan ayat yang difirmankan oleh Allah Azza wa Jalla kepada Nabi-Nya SAW.: Fain tawallaw faqul hasbiyallâhu lâ ilâha illâ Huwa, ‘alayhi tawakkaltu wa Huwa Rabbul ‘arsyil ‘azhîm (At-Taubah: 129), niscaya Allah menyelamatkan ia dari tipu daya setiap penipu, makar setiap pemakar, dan kedengkian setiap orang yang dengki.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/717).

Imam Musa Al-Kazhim (sa)2) berkata: “Tidak ada seorang pun yang membacakan pada anak kecil setiap malam: surat Al-Falaq dan An-Nas masing-masing (3 kali), dan surat Al-Ikhlash (100 kali) atau (50 kali), kecuali Allah menyingkirkan darinya setiap penyakit atau derita anak kecil: kehausan, penyakit lambung dan darah, sampai ia berusia remaja. Jika sesudah remaja ia membacanya sendiri, maka ia akan dijaga oleh Allah Azza wa Jallah sampai hari wafatnya.” (Tafsir Nur Tsaqalayn 5/717).
 
Imam Ali Ar-Ridha (sa) 3) berkata bahwa beliau pernah melihat orang yang sedang pingsan. Beliau menyuruh mengambilkan gelas yang diisi air. Kemudian beliau membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Falaq dan An-Nas, kemudian meludahi/meniup gelas itu, lalu menyuruh menyiramkan/mengusapkan air itu pada kepala dan wajahnya. Orang yang pingsan itu sadar dan bangun. Imam berkata kepadanya: “Insya Allah penyakit itu tidak akan kembali lagi kepadamu selamanya.” (Tafsir Nur Tsaqalayn 5/718).

An-Nas
Imam Musa Al-Kazhim (sa). berkata: “Sangatlah banyak keutamaan surat ini bagi anak kecil jika padanya dibacakan surat Al-Falaq (3 kali), surat An-Nas (3 kali), dan surat Al-Ikhlash (100 kali) dan jika tidak mampu (50 kali). Jika ia ingin memperoleh penjagaan diri dengan bacaan itu, ia akan terjaga sampai hari kematian men-jemputnya. (Mafatihul Jinan 479).

Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata bahwa Rasulullah SAW. mengadu karena sakit yang dideritanya. Kemudian Jibril AS. datang kepadanya, dan Mikail berada di dekat kakinya. Kemudian Jibril memohonkan perlindungan untuknya dengan surat Al-Falaq, dan Mikail memohonkan perlindungan untuknya dengan surat An-Nas.” (Tafsir Nur Tsaqalayn 5/725).

Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa). berkata bahwa: “Jibril datang kepada Rasulullah SAW. ketika sedang mengadu karena sakit, lalu Jibril meruqiyah (mengobati)nya dengan surat Al-Falaq, An-Nas dan Al-Ikhlash. Jibril berkata: Dengan nama Allah aku ruqiyah kamu, Allah pasti menyembuhkan kamu dari segala penyakit, ambillah surat ini niscaya ia akan memberi kamu ketenangan dan kesembuhan. Kemudian Nabi SAW. membacanya.” (Tafsir Nur Tsaqalayn 5/725).

Wassalammualaikum.

Keutamaan Membaca Tasbih



1. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

Artinya: “Barangsiapa yang mengucapkan: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ (Maha suci Allah dan dengan segala pujian hanya untuk-Nya) sehari 100 (seratus) kali, maka kesalahan-kesalahannya akan diampuni (Allah) walaupun sebanyak buih di lautan.” (HR. Imam Al-Bukhari no. 5926 dan Muslim no. 2691).
2. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ وَحِينَ يُمْسِي سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ لَمْ يَأْتِ أَحَدٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلَّا أَحَدٌ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ أَوْ زَادَ عَلَيْهِ

Artinya: “Barang siapa yang ketika pagi dan sore membaca : سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ(Maha suci Allah dan dengan segala pujian hanya untuk-Nya) sebanyak 100 (seratus) kali, maka pada hari kiamat tidak ada seorangpun yang akan mendatangkan amalan yang lebih utama daripada apa yang dia datangkan. Kecuali orang yang juga mengucapkan bacaan seperti itu atau lebih dari itu.” (HR. Muslim no. 2692).





حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُمَيٍّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Maha suci Allah & segala pujian hanya untuk-Nya' sehari seratus kali, maka kesalahan-kesalahannya akan terampuni walaupun sebanyak buih di lautan. [HR. Bukhari No.5926].

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عُمَارَةَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ

Dua kalimat ringan dilisan, berat ditimbangan, & disukai Ar Rahman yaitu ubhaanallahul'azhiim & Subhanallah wabihamdihi. [HR. Bukhari No.5927].


حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِي الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ

Dua kalimat yg ringan di ucapkan dgn lisan, berat dalam timbangan & sangat di cintai oleh Dzat yg Maha pengasih adl Subhanallah wa bihamdihi subhanallahil 'adzim (Maha suci Allah & segala puji bagi-Nya, Maha suci Allah & Maha Agung). [HR. ibnumajah No.3796]
.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي سِنَانٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي سَوْدَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِهِ وَهُوَ يَغْرِسُ غَرْسًا فَقَالَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا الَّذِي تَغْرِسُ قُلْتُ غِرَاسًا لِي قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى غِرَاسٍ خَيْرٍ لَكَ مِنْ هَذَا قَالَ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ قُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ يُغْرَسْ لَكَ بِكُلِّ وَاحِدَةٍ شَجَرَةٌ فِي الْجَنَّةِ

Ucapkanlah olehmu Subhanallah (Maha suci Allah), Al Hamdulillah (Segala puji bagi Allah), Laa ilaaha illallah (tidak ada ilah selain Allah) & Allahu akbar (Allah Maha besar). Maka setiap bacaan tersebut akan menumbuhkan satu pohon di surga bagimu. [HR. ibnumajah No.3797].


حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا مِسْعَرٌ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي رِشْدِينَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ جُوَيْرِيَةَ قَالَتْ مَرَّ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ صَلَّى الْغَدَاةَ أَوْ بَعْدَ مَا صَلَّى الْغَدَاةَ وَهِيَ تَذْكُرُ اللَّهَ فَرَجَعَ حِينَ ارْتَفَعَ النَّهَارُ أَوْ قَالَ انْتَصَفَ وَهِيَ كَذَلِكَ فَقَالَ لَقَدْ قُلْتُ مُنْذُ قُمْتُ عَنْكِ أَرْبَعَ كَلِمَاتٍ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ وَهِيَ أَكْثَرُ وَأَرْجَحُ أَوْ أَوْزَنُ مِمَّا قُلْتِ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ خَلْقِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ رِضَا نَفْسِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ زِنَةَ عَرْشِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ مِدَادَ كَلِمَاتِهِ

Subhanallah 'adada khalqih (Maha suci Allah sebanyak makhluq-Nya), Subhanallah ridla nfsih (Maha suci Allah sebanyak keridlaan diri-Nya), Subhanallah zinata 'arsyih (Maha suci Allah sebanyak hiasan 'Arsy-Nya) & Subhanallah midada kalimatih (Maha suci Allah sebanyak kelaimat-kalimat-Nya). [HR. ibnumajah No.3798].
 
حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مُوسَى بْنِ أَبِي عِيسَى الطَّحَّانِ عَنْ عَوْنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَوْ عَنْ أَخِيهِ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا تَذْكُرُونَ مِنْ جَلَالِ اللَّهِ التَّسْبِيحَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّحْمِيدَ يَنْعَطِفْنَ حَوْلَ الْعَرْشِ لَهُنَّ دَوِيٌّ كَدَوِيِّ النَّحْلِ تُذَكِّرُ بِصَاحِبِهَا أَمَا يُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ أَوْ لَا يَزَالَ لَهُ مَنْ يُذَكِّرُ بِهِ

Sesungguhnya di antara kalimat yg kalian ucapkan tentang keagungan Allah dari tasbih, tahlil & tahmid, maka ucapan itu akan selalu berputar di sekeliling 'Arsy. Bagi tia-tiap kalimat tersebut suaranya mendengung bagaikan dengungan lebah yg menyebutkan orang yg membacanya. Bukankah seseorang dari kalian menginginkan -atau, selalu ingin akan sesuatu- yg dapat mengingatkan dirinya?. [HR. ibnumajah No.3799].


حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ الْحِزَامِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى زَكَرِيَّا بْنُ مَنْظُورٍ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مَالِكٍ عَنْ أُمِّ هَانِئٍ قَالَتْ أَتَيْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ فَإِنِّي قَدْ كَبِرْتُ وَضَعُفْتُ وَبَدُنْتُ فَقَالَ كَبِّرِي اللَّهَ مِائَةَ مَرَّةٍ وَاحْمَدِي اللَّهَ مِائَةَ مَرَّةٍ وَسَبِّحِي اللَّهَ مِائَةَ مَرَّةٍ خَيْرٌ مِنْ مِائَةِ فَرَسٍ مُلْجَمٍ مُسْرَجٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَخَيْرٌ مِنْ مِائَةِ بَدَنَةٍ وَخَيْرٌ مِنْ مِائَةِ رَقَبَةٍ
Bertakbirlah kepada Allah seratus kali, & bertahmidlah kepada Allah sebanyak seratus kali, & bertasbihlah kepada Allah seratus sekali, maka semua itu lebih baik dari seratus kuda yg bertali kekang serta berpelana yg di infakkan untuk berperang di jalan Allah. Dan lebih baik dari seratus unta yg gemuk, serta lebih baik dari membebaskan seratus hamba sahaya. [HR. ibnumajah No.3800].


حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ حَفْصُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ هِلَالِ بْنِ يَسَافٍ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعٌ أَفْضَلُ الْكَلَامِ لَا يَضُرُّكَ بِأَيِّهِنَّ بَدَأْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ
Subhanallah (Maha suci Allah), Al Hamdulillah (segala puji bagi Allah), Laa ilaaha illallah (tidak ada ilah yg berhak disembah kecuali Allah), & Allahu akbar (Allah Maha besar). [HR. ibnumajah No.3801].


حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْوَشَّاءُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْمُحَارِبِيُّ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ سُمَيٍّ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ مِائَةَ مَرَّةٍ غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ
Barangsiapa mengucapkan Subhanallah wa bihamdihi sebanyak seratus kali, maka dosa-dosanya akan diampuni walau seperti buih di lautan. [HR. ibnumajah No.3802].


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ رَاشِدٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكَ بِسُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ فَإِنَّهَا يَعْنِي يَحْطُطْنَ الْخَطَايَا كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

Hendaknya kamu selalu mengucapkan Subhanallah wal hamdulillah wa laailaaha illallah wallahu akbar (Maha suci Allah, & segala pujian bagi Allah, & tak ada ilah kecuali Allah & Allah Maha besar), maka kalimat tersebut akan menggugurkan kesalahan-kesalahan sebagaimana pohon menjatuhkan dedaunannya. [HR. ibnumajah No.3803].
 

Bincangkan Tentang Tawassul Dengan Para Wali Allah



Bincangkan Tentang Tawassul Dengan Para Wali Allah.                                     
Jawaban: Tidak ada seorang pun di kalangan orang-orang yang berada di jalan kebenaran (Ahlu`l-Haqq) mencakupi generasi salaf dan generasi khalaf yang berlainan daripada pendapat bahawa tawassul dengan para wali itu dibolehkan.
Dalam hadis disebutkan bahawa Sayyidina Umar bertawassul dengan al-^Abbas (bapa saudara Nabi) dengan berkata:
اللَّهُمَّ إِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا
(رواه البخاري)
Maknanya: "Ya Allah kami bertawassul kepada-Mu dengan bapa saudara Nabi kami (supaya Engkau menurunkan air hujan)". (Diriwayatkan oleh al-Bukhari).

Jawapan: Tawassul dengan para nabi dibolehkan dengan ijma^ (kesepakatan) ulama. Tawassul ialah memohon kepada Allah akan kedatangan suatu manfaat (kebaikan) atau penghindaran suatu mudarat (keburukan) dengan menyebut nama seseorang nabi atau wali untuk memuliakan mereka disertai dengan iktikad bahawa hakikatnya hanya Allah sahajalah yang mendatangkan mudarat dan manfaat.
Allah تعالى berfirman:
وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
(سورة المائدة: 35)
Maknanya: "Kamu carilah perkara-perkara yang boleh mendekatkan diri kamu dengan Allah". (Surah al-Ma'idah: 35)
Dalam satu hadis ada satu peristiwa yang disebutkan bahawa Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajar seorang buta bertawassul dengan Baginda. Setelah orang buta itu bertawassul bukan di hadapan Rasulullah صلى الله عليه وسلم, maka Allah mengembalikan penglihatannya semula. Hadis yang menceritakan peristiwa ini diriwayatkan oleh al-Tabrani dan beliau menghukumkan hadis tersebut sebagai sahih.

GAMBAR SEBAHAGIAN ULAMA AWAL ABAD KE-14 HIJRAH HINGGA KE-15 HIJRAH & PENDAPAT MEREKA:


AL-SHAYKH ^ABDUL-BASIT AL-FAKHURI AL-SHAFI^I MUFTI WILAYAH BAYRUT (w. 1323 H). Beliau berkata dalam kitabnya al-Kifayah li-Dhawil-^Inayah (hlm. 13): "Dia bukanlah suatu jirim yang mengambil suatu kadar dari lapang. Oleh itu, tiada suatu tempat bagi-Nya. Dan Dia bukanlah suatu ^arad (iaitu suatu sifat yang mendatang) yang berdiri dengan jirim, Dia bukanlah di suatu arah dari pelbagai arah dan Dia tidak disifatkan dengan saiz besar dan tidak juga saiz kecil. Dan setiap apa yang tergambar di benak anda maka Allah bersalahan dengannya". Intaha. Beliau berkata dalam kitabnya al-Majalisus-Sunniyyah (hlm. 2) iaitu di pembukaan kitab tersebut: "Allah maha suci dari tempat dan masa". Intaha. Beliau berkata lagi dalam kitabnya al-Majalisus-Sunniyyah (dalam bentuk puisi) di halaman 119: "Tidak sayugia bagi Tuhan yang Maha Esa lagi al-Samad itu bertempat di suatu tempat sedangkan Dia-lah penciptanya. Bahkan, Tuhan-ku ada (azali) sedangkan tiada suatu arasy pun, tiada suatu malaikat pun dan tiada suatu langit pun. Tuhan Arasy telah mengadakan Arasy itu. Dan setiap sesuatu yang di suatu tempat maka dia sentiasa memerlukan tempat dan diliputi oleh batasnya". Intaha.



AL-SHAYKH SALIM AL-BISHRI AL-MISRI SHAYKHUL-AZHAR (w. 1335 H). Al-Shaykh Salamah al-Quda^i al-^Azami al-Shafi^i (w. 1376 H) berkata dalam kitabnya Furqanul-Qur'an (hlm. 74) bahawa al-Shaykh Salim al-Bishri berkata: "Ketahuilah - semoga Allah menolong anda dengan taufik-Nya dan melorongkan kami dan anda ke jalan-Nya yang lurus - bahawa mazhab al-Firqatun-Najiyah (Golongan Selamat) dan perkara yang telah diijmakkan oleh golongan Sunni (Ahlus-Sunnah wal-Jama^ah) ialah bahawa sesungguhnya Allah taala maha suci dari persamaan dengan perkara baharu (makhluk) iaitu menyalahi perkara baharu itu dalam semua sifat baharu. Dan antara perkara yang diijmakkan itu ialah Allah maha suci dari arah dan tempat sebagaimana bukti-bukti yang putus telahpun menunjukkan perkara itu". Intaha.


AL-SHAYKH YUSUF AL-NUBHANI AL-SHAFI^I AL-BAYRUTI (w. 1350 H). Beliau berkata kitabnya al-Ra'iyyatul-Kubra (sebuah karya puisi) di halaman 3: "Maka tiada suatu arahpun yang meliputi-Nya, tiada suatu arah bagi-Nya. Tuhan-ku maha suci dari arah tersebut dan Dia maha tinggi dari segi martabat". Intaha.

AL-SHARIF AL-SHAYKH ^ABDUL-MAJID AL-MAGHRIBI AL-HASANI (w. 1352 H) SETIAUSAHA FATWA DI TRIPOLI (SYAM). Beliau berkata dalam kitabnya Risalah ^Ilmiyyah fil-Isra' wal-Mi^raj (hlm. 24): "Allah tidak diliputi oleh suatu tempat pun, tidak dibatasi oleh suatu arah, tidak di atas dan tidak di bawah. Allah taala ada pada keazalian-Nya dan tiada suatu pun dari sekalian makhluk, tempat dan arah secara mutlak (pada keazalian-Nya)". Intaha. Beliau berkata dalam kitabnya al-Kawkibush-Sharqi fi Radd Nazariyyah Labalas wa-Rufaqa'ihi (hlm. 57): "Dan hendaklah diketahui di sini bahawa Allah itu pencipta sekalian makhluk dan (Dia-lah) yang mengadakannya, wajib pada akal bahawa Dia bukanlah suatu yang bersamaan dengan sesuatu dari mahkluk dari setiap segi. Dan tiada suatu pun dari sekalian makhluk ini melainkan ia dibatasi oleh tempat dan disempadani oleh arah. Dan setiap suatu tempat itu adalah suatu yang disempadani. Dan setiap suatu yang disempadani dan dibatasi itu pula adalah suatu yang baharu (iaitu yang kewujudannya didahului dengan ketiadaan), sedangkan Allah itu qadim (yang kewujudan-Nya tidak didahului dengan ketiadaan), maka tidak boleh pada akal untuk mengatakan bahawa Allah itu ada di suatu tempat atau dibatasi oleh suatu arah". Intaha.


AL-SHAYKH MAHMUD IBN MUHAMMAD KHATTAB AL-SUBKI (w. 1352 H) SALAH SEORANG DARIPADA MASHAYIKH AL-AZHAR AL-SHARIF. Beliau berkata dalam kitabnya Ithaful-Ka'inat bi-Bayan Madhhabis-Salaf wal-Khalaf fil-Mutashabihat (hlm. 5): "Dan adapun mazhab Salaf dan Khalaf dengan nisbah kepada ayat-ayat dan hadis-hadis mutashabihat, maka sesungguhnya telah sepakati oleh semua mereka itu bahawa Allah taala itu maha suci dari segala sifat makhluk. Oleh itu, maka tiada bagi Allah ^azz wa-jall itu suatu tempat di Arasy, tiada juga di langit dan tiada juga di selain dari dua ini. Dan Dia tidak disifatkan dengan hulul (meresap) dalam suatu makhluk, tidak juga disifatkan dengan sifat bersambungan dengan suatu makhluk, tidak juga disifatkan dengan sifat perubahan dan perpindahan dan seumpamanya dari sekalian sifat perkara baharu (mahkluk)". Intaha.

AL-SHARIF AL-MUHADDITH AL-KHATIB AL-SHAYKH ^ABDUL-FATTAH AL-ZA^BI AL-HASANI AL-LUBNANI AL-TARABULSI (w. 1354 H) NAQIB AL-ASHRAF DI TRIPOLI (SYAM). Beliau berkata dalam kitabnya al-Mawa^iz al-Hamidiyyah fil-Khutubil-Jum^iyyah (hlm. 85): "Bagaimanakah akal boleh mengenali (Tuhan) yang maha suci dari kammiyyah (persoalan bilangan), kayfiyyah (persoalan bagaimana) dan ayniyyah (persoalan tempat). Maka kamu hendaklah mensucikan Tuhan kamu dan mengkuduskan-Nya dari segala lintasan fikiran". Intaha.



AL-SHARIF WALIYYULLAH AL-MUHADDITH AL-AKBAR AL-SHAYKH MUHAMMAD BADRUD-DIN IBN AL-SHAYKH YUSUF AL-HASANI AL-DIMASHQI (w. 1354 H). Beliau telah menghuraikan matan al-^Aqidah al-Shaybaniyyah, antara maksud matan tersebut (dalam bentuk puisi) ialah: "Aku akan sentiasa memuji Tuhan-ku kerana taat dan ta^abud dan aku menyusun suatu simpulan di dalam aqidah dalam hal aku bertauhid. Maka tiada suatu arah pun yang meliputi Tuhan dan tiada bagi-Nya suatu tempat dalam hal Dia maha suci dari kedua-dua perkara itu dan Dia maha mulia. Lantaran alam itu suatu yang dicipta dan Tuhan-ku itu pula pencipta, nescaya Dia ada (azali) sebelum alam sebagai Tuhan dan tuan. Dan tiada suatu pun yang sama seperti Allah, dan tiada suatu yang sama dengan-Nya dalam hal Tuhan kita maha suci dari disempadani..."

AL-SHARIF AL-SHAYKH MUHAMMAD IBN IBRAHIM AL-HUSAYNI AL-TARABULSI (w. 1359 H). Beliau berkata dalam kitabnya Tafsirul-Qur'anil-Karim (hlm. 101) ketika mentafsir ayat 55 surah al-Baqarah: "Mereka menyangka bahawa Dia subhanahu wa-ta^ala itu sebahagian daripada perkara yang menyerupai jisim dan yang boleh dikaitkan kepada penglihatan dalam hal perkaitan penglihatan tersebut dengan jisim berdasarkan cara pertentangan dalam arah dan ruang. Dan tiada keraguan pada kemustahilannya". Intaha.



AL-ALLAMAH AL-SHAYKH YUSUF AL-DIJWI AL-MISRI (w. 1365 H) SALAH SEORANG ULAMA BESAR DI AL-AZHAR AL-SHARIF. Beliau berkata dalam Majalah al-Azhar (jil. 7, juz. 4, Muharam 1357 H) ketika mentafsir ayat 1 surah al-A^la: "Al-A^la - Yang Maha Tinggi - itu sifat Tuhan, dan yang dikehendaki dengan ketinggian ialah ketinggian dengan kekuatan dan kekuasaan bukannya dengan tempat dan arah lantaran kemahasucian-Nya dari perkara itu". Intaha.


AL-^ALLAMAH AL-SHAYKH MUHAMMAD ZAHID AL-KAWTHARI AL-HANAFI (w. 1371 H) WAKIL AL-MASHIKHAH AL-ISLAMIYYAH DI NEGARA KHILAFAH UTHMANIYYAH. Beliau berkata dalam kitabnya Maqalat al-Kawthari (Maqal al-Isra' wal-Mi^raj, hlm 452): "Penyucian Allah subhanahu dari tempat serta segala yang dinisbahkan dengan tempat, dan masa serta segala yang dinisbahkan kepada masa adalah aqidah Ahlul-Haqq (Ahlus-Sunnah wal-Jama^ah) meskipun golongan al-Mujassimah yang berterus terang dan yang tidak terang pendapat mereka marah terhadap perkara tersebut". Intaha. Beliau berkata dalam kitabnya Takmilah al-Radd ^ala Nuniyyah Ibnil-Qayyim (hlm. 88): "Maka dengan itu zahirlah kebatilan pegangan dengan kalimah "fawq" dalam ayat-ayat dan hadis-hadis bagi menetapkan arah bagi-Nya ta^ala. Allah maha suci dari tanggapan kaum al-Mujassimah". Intaha.

AL-^ALLAMAH AL-SHAYKH MUSTAFA WUHAYB AL-BARUDI AL-TARABULUSI (w. 1372 H). Beliau berkata dalam kitabnya al-Fawzul-Abadi fil-Hadyil-Muhammadi (hlm. 73): "Sesungguhnya Allah taala itu maha suci zat(-Nya) dari penentuan dengan sebarang tempat dan masa. Dan ini satu asas daripada asas-asas aqidah iman kerana jika Dia memerlukan tempat nescaya Dia adalah baharu (suatu yang ada yang didahului dengan tiada). Dan sebenarnya dalil yang menunjukkan wajib bagi Allah itu bersifat qidam (sifat yang tidak didahului dengan ketiadaan) dan mustahil atas-Nya bersifat ^adam (ketiadaan) telah nyata, dan kerana segala arah ini Dia-lah yang telah menciptakannya". Intaha.



AL-SHAYKH MUHAMMAD AL-KHIDR HUSAYN AL-TUNISI (w. 1378 H) SHAYKHUL-AZHAR. Dinyatakan dalam majalah al-Hidayah al-Islamiyyah (juz. 12, jil. 4) yang beliau mengetuainya: "Sesungguhnya kejisiman menuntut tempat berhenti dan tempat. Dan sebenarnya telahpun pasti bahawa itu mustahil bagi Allah". Intaha.

AL-HAFIZ AL-MUHADDITH AL-MUJTAHID AL-SHAYKH AL-SAYYID AHMAD IBN MUHAMMAD IBN AL-SIDDIQ AL-GHUMARI AL-MAGHRIBI (w. 1380 H). Beliau berkata dalam kitabnya al-Minahul-Matlubah fi Istihbab Raf^il-Yadayn fid-Du^a' ba^das-Salawatil-Maktubah (yang dihimpunkan dalam sebuah kitab yang berjudul Thalath Rasa'il fi Istihbab al-Du^a', hlm. 61 - 62): "Maka jika dikatakan: "Jika (Allah) al-Haqq subhanahu itu tiada di suatu arah, maka apakah makna perbuatan mengangkat kedua-dua tangan kerana berdoa ke arah langit? Maka jawapannya ialah sebagaimana yang dinukilkan (oleh al-Hafiz al-Mujaddid al-Lughawi Muhammad Murtada al-Zabidi) di dalam kitab Ithafus-Sadatil-Muttaqin (jil. 5, hlm. 34 - 35) daripada al-Turtushi - al-Maliki - dengan dua cara: Pertamanya; bahawa sesungguhnya perbuatan mengangkat dua tangan itu suatu kedudukan ta^abbud (peribadatan) seperti perbuatan menghadap Kaabah ketika solat dan perbuatan menempelkan dahi ke bumi ketika sujud berserta mensucikan-Nya subhanahu dari tempat al-Bayt[ul-Haram] dan tempat sujud. Oleh itu, seolah-olah langit itu kiblat doa. Keduanya; sesungguhnya oleh kerana langit itu tempat jatuh rezeki dan wahyu dan sebagai tempat rahmat dan barakah, di atas makna bahawa hujan itu sentiasa turun dari langit ke bumi lalu hujan itu mengeluarkan suatu tumbuhan, dan langit juga tempat al-Mala'ul-A^la. Oleh itu, jika Allah menqada'kan suatu perkara maka Dia mencampakkannya kepada mereka, lalu mereka mencampakkannya kepada penduduk bumi. Demikian juga amalan diangkat. Dan di langit juga ada bukan seorang daripada kalangan para nabi, padanya ada syurga - iaitu syurga berada di atas langit ketujuh - yang merupakan kemuncak cita-cita. Oleh kerana langit itu menjadi suatu lombong bagi perkara-perkara besar ini dan juga sebagai makrifah al-Qada' dan al-Qadar maka azam yang kuat beralih kepada langit dan sebab-sebab tertumpu kepada langit". Intaha.


AL-MUHADDITH AL-SHAYKH MUHAMMAD ^ARABI AL-TABBAN AL-MALIKI (w. 1390 H) GURU DI MADRASAH AL-FALAH DAN DI AL-MASJIDIL-HARAM. Beliau berkata dalam kitabnya Bara'atul-Ash^ariyyin (jil. 1, hlm. 79): "Mereka yang berakal daripada golongan Ahlus-Sunnah yang bermazhab al-Shafi^i, bermazhab al-Hanafi, bermazhab al-Malik, tokoh-tokoh utama yang bermazhab al-Hanbali dan selain mereka bersepakat bahawa Allah tabarak wa-ta^ala itu maha suci dari arah, kejisiman, batas, tempat dan persamaan dengan segala makhluk-Nya". Intaha.


AL-SHAYKH MUHAMMAD AL-TAHIR IBN ^ASHUR AL-MALIKI (w. 1393 H) KETUA PARA MUFTI MAZHAB MALIKI DI TUNISIA DAN SHAYKH JAMI^ AL-ZAYTUNAH DAN CAWANGAN-CAWANGAN JAMI^ AL-ZAYTUNAH DI TUNISIA. Beliau berkata dalam kitab tafsirnya al-Tahrir wat-Tanwir (jil. 29, hlm. 33): "Firman-Nya - taala - [yang mafhumnya] ((yang di langit)) di dua tempat tersebut (iaitu dalam ayat 16 dan 17 surah al-Mulk) dari segi makna yang kesamaran yang zahirnya memberi makna bertempat di suatu tempat, dan itu tidak layak dengan Allah". Intaha.



AL-SHAYKH ^ABDUL-KARIM AL-RIFA^I AL-DIMASHQI (w. 1393 H) SALAH SEORANG MURID KHUSUS AL-SHARIF AL-MUHADDITH AL-AKBAR AL-SHAYKH MUHAMMAD BADRUD-DIN AL-HASANI. Beliau berkata dalam kitabnya Kitabul-Ma^rifah fi Bayan ^Aqidatil-Muslim (hlm. 55 dan 57): "Mustahil bagi Allah itu ada sifat persamaan dengan perkara baharu, pergantungan dengan masa dan tempat, berada di suatu arah atau ada suatu arah bagi-Nya". Intaha.

AL-SHARIF AL-SHAYKH MUHAMMAD ABUL-YUSR ^ABIDIN AL-HUSYANI (w. 1401 H) MUFTI SYRIA. Beliau berkata dalam kitabnya al-Ijaz fi Ayatil-I^jaz: "Ketahuilah sesungguhnya telah diakui dalam agama Islam bahawa Allah taala itu tiada suatu tempat dan suatu masa bagi-Nya, dan Dia-lah Tuhan [yang mencipta dan mentadbir] masa dan tempat. Dan sesungguhnya tempat-tempat yang disandarkan kepada-Nya taala itu hanya disandarkan untuk pemuliaan kerana Dia telah memuliakan tempat-tempat tersebut. Lalu disebut "BaytuLlah" [rumah Allah]". Intaha.



AL-MUHADDITH AL-SHAYKH AL-SAYYID ^ABDULLAH IBN MUHAMMAD IBN AL-SIDDIQ AL-GHUMARI (w. 1413 H). Beliau berkata dalam kitabnya Qasasul-Anbiya' (hlm. 11): "Allah ada (azali) dan tidak ada suatu pun selain-Nya. Oleh itu, tiada suatu masa pun, tiada suatu tempat pun, tiada suatu ruang pun, tiada suatu detik pun, tiada suatu arasy pun, tiada suatu malaikat pun, tiada suatu bintang pun dan tiada suatu orbit pun. Kemudian Dia mengadakan alam ini tanpa berhajat kepadanya, dan jika Dia mahu maka Dia boleh tidak mengadakannya. Oleh itu, seluruh alam ini dengan suatu yang ada di dalamnya terdiri daripada jauhar, ^arad adalah suatu yang baharu wujud dari ketiadaan...". Intaha.



AL-^ALIMUL-^ALLAMAH AL-SHAYKH ^ABD RABBIH IBN SULAYMAN IBN MUHAMMAD IBN SULAYMAN YANG DIKENALI DENGAN PANGGILAN AL-QALYUBI AL-MISRI SALAH SEORANG DARIPADA ULAMA AL-AZHAR. Beliau berkata dalam kitabnya Faydul-Wahhab fi Bayan Ahlil-Haqq (jil. 2, hlm. 26 - 27): "Kami berkata: "Antara yang telah diakui menurut dalil aqli dan dalil naqli bahawa Allah taala itu Tuhan yang qadim (iaitu yang kewujudan-Nya tidak didahului dengan ketiadaan) lagi yang tidak memerlukan setiap sesuatu selain-Nya dan selain-Nya itu pula memerlukan-Nya. Oleh itu, bagaimana Dia bertempat di langit sedangkan sifat bertempat itu adalah dalil keberhajatan. Dan sesungguhnya jika Dia taala itu ada di suatu tempat nescaya Dia adalah perkara yang boleh dikadarkan, sedangkan sesuatu yang boleh dikadarkan itu adalah suatu yang baharu (iaitu suatu yang kewujudannya didahului dengan ketiadaan), sedangkan Allah taala itu qadim, maka sifat bertempat di suatu tempat atau suatu arah itu mustahil bagi-Nya". Intaha.



SAMAHATUSH-SHAYKH HASANAYN MUHAMMAD HASANAYN MAKHLUF (w. 1410 H) MUFTI MESIR. Beliau berkata dalam kitabnya Mukhtasar Sharh ^Aqidah Ahlil-Islam (hlm. 12 - 13): " - Sesungguhnya Allah - maha suci dari segala kekurangan dan sifat-sifat kebaharuan (iaitu sifat-sifat makhluk). Dan antara sifat-sifat kekurangan dan makhluk itu ialah masa dan tempat. Oleh itu, Allah tidak diiringi oleh suatu masa dan tidak diliputi oleh suatu tempat lantaran Dia-lah pencipta bagi kedua-dua perkara tersebut, maka bagaimana mungkin Dia memerlukan kepada kedua-dua perkara itu pula?!". Intaha.